Rabu, 09 Januari 2008

pengertian pendidikan

Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi -- pengertian atau memaknainya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan - Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah "subyek" dari -- pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk "ada" sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.

Apakah hasil pendidikan itu? Yang jelas ada perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Bukankah perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga?

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

Masalah seputar pendidikan kita.

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami "sakit". Dunia pendidikan yang "sakit" ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu.

Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sisten pendidikan yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan "manusia robot". Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai "pendidikan yang menciptakan manusia -- siap pakai". Dan "siap pakai" di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam "strategi kebudayaan Asia", sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Demikianlah gambaran permasalahan-permasalahan yang terjadi di seputar pendidikan kita.

Kembali ke hakikatnya : Pendidikan Yang Membebaskan.

Henri J.M. Nouwen menyebutkan proses pendidikan/pengajaran yang muncul dalam masalah-masalah di seputar pendidikan yang penulis sebutkan tadi sebagai akibat dari jalannya pengajaran yang diwarnai kekerasan. Menurutnya ada tiga ciri dari pengajaran sebagai proses yang diwarnai kekerasan, yaitu : persaingan, satu arah dan mengasingkan. Proses pengajaran yang diwarnai kekerasan itu menurut Nouwen dapat merusak hakikat pendidikan.

Oleh karena itu Nouwen membuat suatu model pendidikan/pengajaran yang disebutnya "Pengajaran sebagai proses yang membebaskan". Model tersebut berpijak pada tiga hal, yaitu : evokatif, dua arah dan mengaktualisasikan.

1. Evokatif

Persaingan sebagai salah satu ciri dari proses pengajaran yang diwarnai kekerasan, merupakam salah satu yang merusak sistem pendidikan yang ada. Persaingan menyebabkan cara pandang murid terhadap kawannya dan gurunya menjadi salah. Akibatnya, persaingan dapat menimbulkan perasaan takut yang dapat melumpuhkan pada diri seorang siswa karena hasil yang mereka capai. Ketakutan ini membuat banyak peserta didik terlalu peka dan cenderung curiga terhadap kawan atau guru mereka. Perasaan takut membuat mereka rendah diri, mempertahankan diri dalam hubungan dengan orang lain, was-was akan kemungkinan gagal serta ragu-ragu untuk mengambil resiko atau untuk mengerjakan hal-hal yang baru dan tidak terduga.

Karena perasaan takut, persaingan menjadi hambatan besar dalam perkembangan kepribadian yang utuh. Namun di dalam pendidikan yang membebaskan, hubungan guru-murid bersifat membebaskan yaitu masing-masing pihak mencoba untuk membangkitkan kemampuan yang dimiliki oleh pihak yang lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi yang lain. Kalau seorang murid menghendaki seorang guru maka dia harus memberikan kebebasan kepada orang itu untuk menjadi gurunya dengan membagikan pengalamannya sebagai sumber pemahaman dan pengertian. Di dalam diskusi kelas pun murid dapat menawarkan pengalaman hidup mereka kepada guru dan kawan-kawan, sehingga dalam hal ini persaingan tidak ada lagi, dan guru bukanlah hakim yang menakutkan akan tetapi orang yang diberi kesempatan menjadi guru dan mendorong murid agar semakin terbuka untuk belajar. Dalam pengertian ini, guru juga menjadi seorang sahabat bagi murid.

2. Dua Arah

Kalau dalam pengajaran yang diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih (dapat dipertanggung jawabkan) dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.

3. Mengaktualisasikan

Pengajaran bukannya untuk mengasingkan, dengan mengarahkan kesadaran peserta didik keluar dari diri mereka sendiri dan menjauh dari hubungannya yang langsung dengan kenyataan saat ini dalam dirinya dan lingkungannya.

Akan tetapi pengajaran harus mengaktualisasikan. Artinya, kalau belajar dalam pengertian tertentu merupakan persiapan untuk hidup di masa depan, maka hanya dapat terjadi demikian kalau masa depan itu menjadi nyata dalam hubungan pengajaran sekarang dan di sini. Untuk membangun dunia yang lebih baik, awal dari dunia itu harus tampak dalam hidup sehari-hari. Tidak ada alasan untuk mengharapkan akan terjadi banyak hal di masa depan kalau tanda-tanda harapan itu tidak ditampakkan pada masa kini. Kita tidak dapat berbicara mengenai cara-cara untuk membawa damai dan pembebasan kalau kita tidak dapat menyimpulkannya dari pengalaman kita sendiri mengenai damai dan kebebasan yang kita alami sekarang dan di sini, di dalam dunia dan sistem pendidikan kita. Kita tidak dapat melibatkan diri pada perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kasih dalam masyarakat yang akan datang, kalau kita tidak dapat menemukan benih-benih keadilan dan kasih itu dalam keterlibatan kita sekarang dan dalam pelaksanaan sistem pendidikan kita.

Sekolah, sebagai bagian dari sistem pendidikan, adalah tempat di mana persaudaraan dapat dialami, di mana orang dapat hidup bersama tanpa merasa takut satu sama lain dan belajar didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan yang kreatif. Oleh karena itu bagi mereka yang selesai sekolah, akan mempunyai keinginan yang semakin besar untuk membawa apa yang mereka alami selama bertahun-tahun di sekolah ke dunia yang lebih luas. Sekolah bukanlah arena latihan untuk mempersiapkan orang masuk ke dalam kekerasan masyarakat (yang keras), tetapi merupakan tempat di mana masyarakat yang merdeka dapat dicoba dibangun dan ditawarkan kepada dunia modern, sebagai gaya hidup yang lain.

Seiring dengan apa yang dikemukakan Nouwen, Paulo Freire memandang pendidikan sebagai suatu aktivitas yang harus menumbuhkan rasa cinta terhadap dunia dan sesama, kerendahan hati, keyakinan, pengharapan dan pemikiran kritis di dalam hati setiap orang yang terlibat di dalamnya. Semua itu merupakan "syarat" utama (sesuatu yang harus ada terlebih dahulu) bagi berjalannya suatu dialog. Suatu bentuk perjumpaan diantara sesama manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dunia dalam arti menyadari kenyataan dunianya, kenyataan masyarakat serta lingkungannya. Dengan kata lain, pendidikan membentuk manusia yang memiliki kepekaan dan kesadaran sosial.

Tindakan "menamai dunia" itu sendiri merupakan wujud dari kesadaran yang akhirnya akan diikuti oleh tindakan untuk memperbarui dunia agar lebih baik lagi bagi hidup manusia.